Musik, haramkah? 

Agar cara pandang anda mengenai musik lebih berwarna, luwes dan tidak ambigu, ada baiknya meletakan musik dalam prespektif yang lebih luas, yaitu meletakan nya dalam cabang ilmu maqosid syariah,(tujuan-tujuan syariat islam). Titik awalnya bisa kita kembalikan pada perinsip dasar ilmu tersebut, lalu mengkaji ulang argument-argument mereka yang terlalu ngotot mengharamkan musik. 

Karna jujur saya resah dengan mereka yang selalu ngotot mengharamkan musik, seolah-olah menutup mata pada perbedaan pendapat antara ulama, pura-pura buta terhadap pendapat yang menghalalkan musik. 

Sebelum lebih jauh, saya ingin mengingatkan bahwa yang akan saya utarakan ini adalah hukum musik (ma’azif) , bukan lirik, suara penyanyi atau unsur-unsur lain yang bisa menyebabkan hukum bermain musik atau mendengarkanya menjadi mutlaq haram.

Kemudian ada baiknya juga anda menyeduh secangkir kopi dulu, menyiapkan sepiring gorengan, dan duduk diatas kursi sofa yang empuk, karena pembahasan kali ini tak terlalu ringan.

Berikut saya uraikan dengan bahasa yang semoga mudah dipahami, meski akan sangat susah untuk menghidar dari istilah istilah teknis. 

Pada mulanya prinsip dasar yang diajarkan dalam cabang ilmu maqosid adalah: “tujuan utama diturunkan nya hukum-hukum syariat, adalah untuk mendatangkan segala sesuatu yang baik dan mencegah segala sesuatu yang buruk“.

Atau yang lebih populer dengan istilah “jalbul masolih, wa dar’ul mafasid

Contoh mudahnya: disyariatkan pernikahan agar mendatangkan kebaikan berupa keturunan,  yang nantinya akan meneruskan estafet kehidupan ini. 

Contoh lainya: disyariatkan hukuman potong tangan bagi orang yang mencuri, agar mencegah sesuatu yang buruk, yaitu untuk melindungi harta manusia dan untuk melindungi tersebarnya pencurian di suatu komunitas. 

Intinya,  semua syariat-syariat islam bertujuan untuk mendatangkan sesuatu yang baik, dan mencegah sesuatu yang buruk. 

Tapi jika kita aplikasikan dalam kasus musik, musik ini, jikalau memang tidak mendatangkan suatu kebaikan, tapi ia bukanlah sesuatu yang bisa mendatangkan kerusakan atau keburukan,  seperti halnya pencurian atau perzinahan yang sudah jelas kerusakan dan keburukan yang disebabkanya,  karnanya musik ini sangat berbeda dengan itu semua, musik yang tanpa dibarengi dengan sesuatu yang lain, tidak mendatangkan suatu kerusakan apapun, musik sama seperti suara-suara bagus lainnya, sama sepeti suara kicauan burung atau suara merdu seseorang qori’. Maka kurang arif rasanya jika seorang ulama, atau orang awam yang fanatik dengan ulama mereka, terlalu extreme atau ngotot untuk mengharamkan musik ini.

Jangan bilang kalau musik ini bisa menumbuhkan kenifaqan dalam hati, karna itu adalah (istidlal fi mahallil niza’) , karna istidlal fi mahalil niza’ itu tidak diperbolehkan menurut literatur ushul fiqh (filsafat hukum islam). Anda bisa melewati paragraf ini karna poinya lebih mudah difahami oleh orang yang pernah belajar cabang ilmu itu. 

Kemudian Kita lanjutkan dengan mengkaji argument keharaman musik. 

Sejatinya argument keharaman musik ada banyak, yang paling kuat, dan sering disebut-sebut adalah
 

Hadis yang diriwayatkan imam bukhori dalam kitab sohihnya:
ليكوننَّ من أُمَّتي أقوام يَستحلُّونَ الْحِرَ والحَريرَ والخمر والمعازِف

(Sungguh akan ada suatu golongan dari ummatku, mereka menghalalkan kemaluan, kain sutra, khomer atau arak, dan alat musik)
Kalau kita teliti lebih dalam, hadis ini sebenarnya masih dalam perselisahan antara ulama, sebagian dari mereka menganggapnya hadis yang sohih (valid), sebagian yang lain menganggapnya doif (tak valid).
Bagaimana mungkin hadis yang disebut dalam kitab sohih bukhori tak valid? Bukankah beliau telah menjamin bahwa semua yang ada di dalam kitabnya itu valid semua? 
Bisa saja, karna hadis ini beliau tulis dalam kitabnya dalam keadaan mua’laq (ada beberapa perawi yang tak disebut dalam sanadnya), sedangkan yang beliau jamin semua hadis di kitab beliau dengan kevalidan, jika sanad dari hadis tersebut lengkap. Jadi memang mungkin ada hadis dalam kitab sohih bukhori itu yang tak valid, yaitu hadis-hadis yang mua’laq tadi. 

Intinya hadis ini masih diperselisihkan oleh sebagian ulama atas keafsahan dan kevalidan nya. 

Jikapun kita menganggap atau mengikuti ulama yang menjadikan hadis ini valid, masalah ini tak selesai disini, karna jika kita mengkaji teks dari hadis ini, kita akan menemukan bahwa menjadikan hadis ini sebagai argument haramnya musik itu tak sepenuhnya benar, bagaimana bisa? 

Mari selimak penjelasanya:

Redaksi Hadis diatas menyebutkan bahwa pada ahir zaman, sebagian kaum dari umat ini akan menghalalkan 4 perkara, yaitu: kemaluan, kain sutra, arak dan musik.

Cuma bukan berarti musik menjadi haram dengan landasan hadis ini, coba kita teliti empat perkara yang disebut dalam hadis tadi. 

Dimulai dengan kemaluan: sebagai mana yang kita tahu bahwa hukum kemaluan ada dua, ada yang halal, yaitu kemaluan istri atau hamba sahaya yang dimiliki oleh seseorang, dan ada yg haram,  yaitu kemaluan selain istri atau budak orang tersebut, berarti maksut dari hadis ini adalah: akan ada golongan dari umatku mereka menghalalkan apa yang haram dari kemaluan. Bukan menghalalkan semua kemaluan, karna memang tak semua kemaluan haram. 

Begitu juga dengan kain sutra: memakai kain sutra ada yang halal,  yaitu jika yang memakainya wanita, atau laki laki jika kain sutranya tidak murni, ketika campuranya lebih bayak, sedangkan sutranya sendiri maksimal 50% atau kurang dari itu dan terkadang hukumnya haram yaitu selain yang disebutkan tadi, jadi maksut dari hadis itu: akan ada golongan dari ummatku yang menghalalkan apa yang haram dari kain sutra. Bukan menghalalkan semua kain sutra, karna memang tak semua kain sutra itu haram. 

Kalau memang hukum dua perkara tadi “kemaluan” dan “kain sutra” bisa diperinci menjadi dua, ada yang halal dan haram, maka seharusnya hukum musik juga dibuat demikian, seharusnya musik juga ada yang haram dan ada yang halal,  seperti hukum kemaluan dan kain sutra tersebut. 

Kenapa malah dibuat hukum musik haram dengan landasan hadis ini? Bagaimana atau dari mana mereka bisa mengambil hukum haram dari hadis ini?

Tapi hukum arak kan semuanya haram, tak ada arak yang halal? Jadi musik sama dengan arak

Memang betul, semua arak haram, tapi kenapa hukum musik harus disamakan dengan arak? Kenapa tak disamakan dengan hukum kemluan dan kain sutra yang hukumnya terperinci menjadi dua? Bukankah menyamakan sesuatu dengan perkara lainya tanpa ada argument itu tahakkum atau menang sendiri?

Saya tak ingin mengunggulkan pendapat atau argument orang yang menghalal musik, atau yang mengharamkan nya. Hanya saja, saya ingin menegaskan bahwa hukum musik ini bukanlah hukum yang sudah qoth’i (final), melainkan masih dzonny (disangka halal, atau haram). Maka tak boleh orang yang berpendapat musik haram untuk ingkar kepada mereka yang berpendapat halal, karna dalam literatur qowaidh fiqh disebutkan “laa yunkarul muhtalaf fihii wa yunkarul mujma’ alaihi” (tak boleh ingkar pada perkara yang masih diperselisihkan hukumnya, dan harus ingkar pada sesuatu yang telah disepakati hukumnya).

Sejatinya masih banyak argument-argument yang sering mereka pakai untuk mengharamkan musik,  mungkin lain waktu bisa kita lanjutkan. Sekarang saya ingin nonton dulu. 

Tulisan ini terinspirasi atau diringkas dari kuliah yang disampaikan oleh Doktor syarif hatim, salah satu ulama makkah yang saya kagumi, disini link nya.